BISNISQUICK.COM – JAKARTA — Pemerintah melalui ESDM secara resmi menetapkan tarif denda administratif bagi perusahaan yang terbukti melakukan pertambangan ilegal di kawasan hutan. Kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 391.K/MB.01/MEM.B/2025 yang mulai berlaku 1 Desember 2025.
Dalam keputusan tersebut, denda terbesar dikenakan pada aktivitas penambangan nikel ilegal — yaitu sebesar Rp 6,5 miliar per hektare. Sementara itu, bagi penambang bauksit, timah dan batu bara yang beroperasi tanpa izin di kawasan hutan juga dikenai denda yang bervariasi: bauksit Rp 1,76 miliar/ha, timah Rp 1,25 miliar/ha, dan batu bara Rp 354 juta/ha.
Langkah tegas ini merupakan bagian dari upaya pemerintah mencegah kerusakan lingkungan akibat penambangan ilegal serta penebangan hutan secara sembunyi-sembunyi. ESDM menyatakan denda tersebut adalah implementasi sanksi administratif berdasarkan regulasi terbaru tentang tata cara penerapan sanksi dan penerimaan negara bukan pajak di bidang kehutanan.
Penindakan Masif — Triliunan Rupiah Denda dan Penyitaan Lahan
Langkah penindakan bukan hanya lewat regulasi denda. Baru-baru ini, sebuah tim satgas kehutanan yang melibatkan aparat militer dan penegak hukum memerintahkan puluhan perusahaan perkebunan kelapa sawit dan tambang ilegal untuk membayar denda total yang sangat besar. Menurut laporan, total denda yang dijatuhkan mencapai sekitar Rp 38,62 triliun. Dari jumlah tersebut, sebagian besar denda diperuntukkan bagi perusahaan pertambangan yang dinyatakan ilegal.
Selain itu, satgas juga menyita jutaan hektare lahan perkebunan serta ribuan hektare area tambang — sebagai upaya menghentikan aktivitas ilegal dan mereklasifikasi kawasan yang rusak sebagai hutan negara.
Konteks Kebijakan: Tekanan Pemerintah dan Krisis Lingkungan
Penetapan denda dan penyitaan ini bukanlah kebetulan. Beberapa bulan terakhir, pemerintah mendapat tekanan kuat dari publik dan berbagai organisasi lingkungan atas meningkatnya kasus pertambangan ilegal yang menyebabkan deforestasi, kerusakan habitat, dan bencana alam. Presiden meminta agar sektor pertambangan dikelola dengan transparan, berizin, dan tidak merusak lingkungan.
Kebijakan denda ini juga mencerminkan dorongan pemerintah untuk menegakkan regulasi lingkungan sambil menjaga pendapatan negara, agar sektor pertambangan tetap memberi kontribusi tanpa mengorbankan keberlangsungan alam.
Tantangan Pelaksanaan dan Efektivitas Sanksi
Meskipun denda telah ditetapkan, beberapa pakar dan penggiat lingkungan mengingatkan tantangan besar di lapangan: verifikasi lahan, penegakan hukum, serta upaya rehabilitasi areal yang rusak. Dalam beberapa kasus sebelumnya, sanksi serupa pernah disampaikan, tetapi pelaksanaannya lemah sehingga praktik ilegal kembali berulang. Selain itu, banyak perusahaan besar memiliki struktur hukum kompleks — alih fungsi izin, pinjam pakai kawasan hutan, hingga penerbitan dokumen legal yang sulit ditelusuri. Hal ini membuat upaya penertiban dan penagihan denda sangat rumit.
Makna Besar bagi Kelestarian Lingkungan & Kepastian Hukum
Dengan keputusan ini, ESDM tampak mengambil sikap tegas terhadap pelanggaran lingkungan yang telah lama jadi masalah struktural di Indonesia. Bila konsisten diterapkan, kebijakan ini bisa menjadi titik balik bagi perlindungan hutan, penataan izin tambang, dan pemulihan ekosistem.
Bagi publik dan aktivis lingkungan, ini diharapkan menjadi momentum untuk memperkuat pengawasan masyarakat terhadap perusahaan tambang serta mendesak transparansi izin dan rehabilitasi. Sementara bagi pelaku industri, keputusan ini menjadi peringatan bahwa upaya meraup keuntungan cepat dengan merusak alam kini bisa bermasalah berat — secara hukum dan reputasi. (FTB)



