BISNISQUICK.COM – Canberra, Australia — Pemerintah Australia resmi menerapkan kebijakan nasional yang melarang anak-anak di bawah usia 16 tahun memiliki akun media sosial, sebuah langkah bersejarah yang langsung mengundang sorotan dunia. Kebijakan yang mulai berlaku hari ini itu menandai perubahan besar dalam strategi perlindungan anak dari risiko digital, sekaligus memicu perdebatan luas antara aktivis, orang tua, industri teknologi, dan komunitas internasional.
Keputusan ini muncul setelah bertahun-tahun laporan kesehatan mental menunjukkan peningkatan signifikan kasus kecemasan, depresi, hingga cyberbullying pada remaja Australia. Sejumlah dokumen yang sempat dirahasiakan, termasuk hasil penelitian internal lembaga kesehatan dan pendidikan, menggambarkan kaitan kuat antara paparan media sosial dengan penurunan kesejahteraan psikologis anak. Lonjakan kasus yang terjadi sepanjang pascapandemi memperkuat tekanan publik agar pemerintah mengambil langkah radikal.
Di balik kebijakan ini, terdapat tarik menarik kepentingan antara pemerintah dan perusahaan teknologi global. Beberapa raksasa platform digital dilaporkan melakukan lobi intensif untuk menggagalkan aturan tersebut. Mereka menilai larangan ini tidak realistis, berpotensi melanggar privasi melalui proses verifikasi usia, dan dapat merugikan industri digital bernilai miliaran dolar. Namun tekanan advokasi dari kelompok perlindungan anak, ditambah gelombang protes nasional akibat serangkaian kasus perundungan siber, akhirnya memaksa pemerintah bergerak cepat meski menghadapi perlawanan dari industri.
Kebijakan ini membawa tantangan besar pada pelaksanaannya. Pemerintah Australia tengah melakukan uji coba berbagai metode verifikasi usia, mulai dari analisis wajah berbasis kecerdasan buatan hingga pencocokan data dengan institusi pendidikan. Sejumlah pakar privasi memperingatkan bahwa metode ini justru dapat memicu risiko kebocoran data berskala besar, sebuah kekhawatiran yang hingga kini belum terjawab tuntas oleh pemerintah.
Langkah berani Australia menjadi perhatian khusus bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia. Meski menghadapi masalah serupa, seperti tingginya intensitas penggunaan media sosial oleh anak-anak, meningkatnya kasus cyberbullying, serta paparan konten berbahaya, Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda akan menerapkan kebijakan seketat Australia. Pemerintah Indonesia dinilai masih mempertimbangkan dampak ekonomi digital, resistensi masyarakat, serta minimnya infrastruktur verifikasi usia yang memadai. Hingga kini, regulasi nasional masih mengandalkan pendekatan edukasi dan imbauan penggunaan media sosial secara aman, bukan pembatasan akses secara langsung.
Para pengamat keamanan digital menilai keputusan Australia dapat menjadi titik balik regulasi global. Beberapa negara Eropa dikabarkan telah mempertimbangkan kebijakan serupa setelah meningkatnya kekhawatiran terhadap dampak media sosial pada generasi muda. Namun bagi Indonesia, penerapan kebijakan ekstrem semacam ini diprediksi masih membutuhkan diskusi panjang, terutama terkait kesiapan teknologi, penegakan hukum, dan penerimaan publik.
Dengan diberlakukannya larangan ini, Australia secara resmi menjadi negara pertama di dunia yang memutuskan batas usia tegas dalam penggunaan media sosial. Di tengah perdebatan yang tak kunjung mereda, dunia kini menunggu apakah langkah radikal tersebut akan menjadi standar baru perlindungan anak global atau justru memicu babak baru pertarungan antara negara dan raksasa teknologi internasional. (NQD)



